Jumatan di Anjungan Lepas Pantai
Ada pekerja pada sebuah perusahaan MIGAS yang berada di lepas pantai Natuna (offshore). Yang berjarak 120 km dari daratan/pulau terdekat. Apakah pekerja ini boleh melakukan jumatan di anjungan lepas pantai?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Dalam kajian fiqh 4 madzhab, para ulama membagi kondisi manusia menjadi 3 keadaan,
[1] Musafir
mereka adalah orang yang berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain, dan tidak menetap selain hanya untuk singgah ketika ada kebutuhan. Setelah kebutuhannya selesai, dia akan kembali.
[2] Mukim
mereka adalah orang yang menetap di suatu daerah, sehingga tidak lagi disebut safar. Namun tidak ingin tinggal selamanya, dan ada niat untuk kembali ke daerah asalnya. Seperti para mahasiswa yang tinggal di satu kota selama kuliah.
[3] Mustauthin
Mereka adalah orang yang tinggal di sebuah daerah dan berniat menetap selamanya, baik dia orang asli daerah itu atau pendatang dari luar, sehingga dia sudah disebut sebagai penduduk asli setempat.
Orang hanya bisa disebut mukim atau mustauthin jika dia berada di tempat yang permanen (di permukaan tanah). Sementara mereka yang tinggal lama di atas kapal besar, seperti kapan induk atau anjungan lepas pantai, statusnya hanya musafir.
Jumatan Bagi Musafir
Terdapat banyak penegasan ijma’ bahwa musafir tidak wajib jumatan.
Ibnu Abdil Bar mengatakan,
أجمع علماء الأمة أن الجمعة فريضة على كل حر بالغ ذكر يدركه زوال الشمس في مصر من الأمصار وهو من أهل المصر غير مسافر
Ulama sepakat bahwa jumatan adalah kewajiban bagi orang merdeka, baligh, laki-laki, yang menjumpai tergelincirnya matahari di suatu daerah dan dia penduduk daerah itu, bukan musafir. (al-Istidzkar, 2/56).
Di tempat lain, Ibnu Abdil Bar mengatakan,
وأما قوله: (ليس على مسافر جمعة) فإجماع لا خلاف فيه
Pernyataan penulis, ‘Tidak ada kewajiban jumatan bagi musfair, merupakan ijma’ ulama, tidak ada perbedaan dalam hal ini.’
Keterangan lain disampaikan Ibnul Hubairah,
واتفقوا على أن الجمعة لا تجب على صبي ولا عبد ولا مسافر ولا امرأة، إلا رواية عن أحمد في العبد خاصة
Mereka sepakat bahwa jumatan tidak wajib untuk anak-anak, budak, musafir, dan wanita. Selain satu riwayat dari Imam Ahmad khusus untuk budak (wajib jumatan). (Ikhtilaf Ulama, 1/152).
Dan masih ada beberapa keterangan lainnya yang menegaskan bahwa musafir tidak wajib jumatan.
Jika Musafir Mengadakan Jumatan, Apakah Dinilai Sah?
Pembahasan ini lain dengan pembahasan sebelumnya. Pembahasan ini berbicara tentang syarat sah jumatan. Apakah ketika sesama musafir menyelenggarakan jumatan, dinilai sah?
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
Pertama, Jumatan yang diselenggarakan musafir tidak sah.
Ini merupakan pendapat jumhur ulama.
Mereka mengatakan bahwa penyelenggara jumatan harus mustauthin atau minimal mukim menurut sebagian pendapat. Sementara musafir yang hadir hanya mengikuti, dan bukan penyelenggara.
Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan,
ذهب جمهور الفقهاء ـ المالكيّة والشّافعيّة والحنابلة ـ إلى أنّ من شروط صحّة صلاة الجمعة الاستيطان، فلا تصحّ الجمعة بالمسافر ولا تنعقد به، أي لا يكمل به نصابها
Mayoritas ulama – Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali – berpendapat bahwa bagian dari syarat sah jumatan adalah penyelenggara harus mustauthin. Sehingga tidak sah jumatan yang diselenggarakan musafir dan tidak dihitung, artinya tidak terpenuhi batasan jumatan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 25/37).
Keterangan lain disampaikan Ibnu Qudamah,
فأما الاستيطان فهو شرط في قول أكثر أهل العلم وهو الإقامة في قرية على الأوصاف المذكورة لا يظعنون عنها صيفا ولا شتاء
Untuk status mustauthin, merupakan syarat sah jumata menurut pendapat mayoritas ulama. mereka adalah orang yang tinggal di satu kampung, sebagaimana kondisi yang telah disebutkan, tidak berpindah dari tempat itu ketika musim dingin maupun musim panas. (al-Mughni, 2/171).
Diantara alasannya,
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering safar bersama para sahabat. ketika melewati jumatan, beliau tidak mengadakan jumatan di perjalanan. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tinggal beberapa hari di Mekah dalam rangka haji, beliau tidak jumatan, tapi shalat dzuhur di arafah.
Ibnul Mundzir mengatakan,
ومما يحتج به في إسقاط الجمعة عن المسافر أن النبي صلى الله عليه وسلم قد مرّ به في أسفاره جُمَعٌ لا محالة، فلم يبلغنا أنه جَمَّع وهو مسافر، بل قد ثبت عنه أنه صلى الظهر بعرفة وكان يوم الجمعة؛ فدلّ ذلك من فعله على أن لا جمعة على المسافر
“Diantara hujjah mereka yang berpendapat gugurnya jumatan untuk musafir, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering kali melakukan safar melewati hari jumat. Sementara tidak ada riwayat yang sampai ke kita bahwa beliau melaksanakan jumatan ketika beliau sedang safar. Bahkan terdapat riwayat shahih, bahwa beliau shalat dzuhur di arafah ketika hari jumat. Dari perbuatan beliau menunjukkan bahwa tidak ada jumatan bagi musafir.” (al-Ausath, 4/20).
Pendapat jumhur ulama merupakan acuan untuk fatwa Lajnah Daimah ketika mereka memberikan fatwa mengenai hukum jumatan di anjungan lepas pantai. Jawaban Lajnah,
“Orang-orang yang bekerja di laut dari kalangan para tentara yang sedang berada di kapal laut, bagi mereka tidak ada shalat Jum’at karena mereka bukan penduduk yang tinggal menetap disana seperti penduduk pedesaan dan perkotaan.” (Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah no. 14616)
Kedua, jumatan yang diselenggarakan oleh musafir statusnya sah
Mereka beralasan bahwa
[1] pada prinsipnya, jumatan sama dengan shalat jamaah lainnya. Hanya saja bedanya di jumatan ada khutbah.
[2] Terdadapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُمْ كَتَبُوا إِلَى عُمَرَ يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْجُمُعَةِ ؟ فَكَتَبَ : جَمِّعُوا حَيْثُمَا كُنْتُمْ
Mereka menulis surat kepada Umar, menanyakan tentang jumatan?
Umar membalas surat mereka dan mengatakan,
“Lakukan jumatan dimanapun kalian berada.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 5108)
[3] Riwayat dari Nafi, beliau mengatakan,
كان ابن عمر يرى أهل المياه بين مكة والمدينة يجمعون فلا يعيب عليهم
Ibnu Umar melihat para penduduk suku nomaden antara Mekah dan Madinah, melakukan jumatan, dan beliau tidak mencela mereka. (Mushannaf Abdurrazaq no. 5185)
Penduduk suku nomaden (ahlul miyah) adalah mereka tinggal sementara, mengikuti keberadaan air oase atau danau. Jika ada air, mereka menetap, jika air habis, mereka pindah untuk mencari air di tempat lain. Mereka disebut ahlul miyah, kata miyah adalah bentuk jamak kata maa’ yang artinya air.
Ahlul miyah mereka tidak menetap, bukan mustauthin. Umumnya mereka orang badui yang hidupnya tidak menetap.
Ibnul Mundzir menukil beberapa keterangan para ulama mengenai jumatan bagi musafir. Diantara yang beliau sampaikan adalah keterangan Abu Tsaur,
وكان أبو ثور يقول: الجمعة كسائر الصلوات إلا أن فيها خطبة وقصرا من الأربع، فمتى كان إمام وخطب بهم صلى الجمعة،
“Abu Tsaur mengatakan, jumatan itu seperti shalat 5 waktu lainnya. Hanya saja, dalam jumatan ada khutbah dan qashar shalat dari 4. Selama di sana ada imam dan beliau khutbah di depan jamaah, maka shalat jumat.”
Lanjut Ibnul Mundzir,
واحتج بحديث أبي هريرة أنه كتب إلى عمر بن الخطاب يسأله عن الجمعة بالبحرين فكتب إليه أن أجمعوا حيث ما كنتم
“Abu Tsaur berdalil dengan hadis Abu Hurairah bahwa beliau menulis surat kepada Umar bin Khatab, beliau bertanya tentang jumatan di Bahrain. Beliau membalas surat itu dengan mengatakan, silahkan lakukan jumatan dimanapun kalian berada.” (al-Ausath fi Sunan wal ijma wal ikhtilaf, 4/27).
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/29296-jumatan-di-anjungan-lepas-pantai.html